Merancu pada kondisi fluktuasi harga Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang tidak terkendali karena adanya kebijakan pemerintah yang sempat melakukan pelarangan ekspor pada 28 April s/d 22 Mei 2022 membuat rantai tata niaga dan perdagangan Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia terganggu atas distribusi serta penyerapannya terhambat.
Hingga awal Juli 2022 stok CPO mencapai 12,4 juta ton. Hal ini menyebabkan over supply sebanyak 8,4 Juta ton yang menyebabkan tangki timbun tidak lagi mampu menyerap CPO, hal ini tentunya sangat merugikan pengusaha kelapa sawit karena terhambatnya distribusi ekspor CPO akibat terbebani oleh peraturan pemerintah mengenai ekspor CPO yaitu Domestic Price Obligation (DPO), Domestic Market Obligation (DMO) dan Flush Out (FO).
Menyoroti masalah ini Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan meminta kepada pemerintah untuk segera mencabut aturan tersebut dan melakukan percepatan hilirisasi pada industri kelapa sawit serta produk turunannya juga meningkatkan konsumsi dalam negeri secara cepat dan tepat. Karna aturan ini masih menjadi penghambat bagi pelaku usaha kelapa sawit.
Sebelumnya Kementerian keuangan telah mengurangi beban Pungutan Ekspor dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 115 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada kementerian keuangan hal ini tentunya disambut positif sebagai respon pemerintah atas masalah ini.
Wakil Ketua Bidang Politik DPC GMNI Kota Medan Bung Tommy Napitupulu mengatakan ” Sampainya kita pada kondisi over suplai hari ini harusnya sudah menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah Indonesia untuk mencabut aturan tentang DMO, DPO dan FO agar perekonomian dalam sektor industri kelapa sawit segera pulih dan bangkit”.
Keputusan ini dianggap tepat mengingat pada pidato Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo bahwa pelarangan ekspor dilakukan guna mencukupi kebutuhan dalam negeri pada 22 April lalu. Namun, faktanya stok CPO nasional pada pertengahan tahun 2022 sudah tiga kali lipat dari kebutuhan bulanan dalam negeri sehingga sudah layak aturan tersebut untuk dicabut.
Pengaruhnya dari hal ini berdampak negatif bagi petani maupun pengusaha yang berkecimpung disektor kelapa sawit. Sebab dilihat dari data, terdapat 29 juta jiwa buruh tani dan petani yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini.
Kondisi tersebut membuat petani sawit makin terpuruk karena harga rill TBS kelapa sawit mencapai Rp.450 -1.100 perkilogram. Sementara harga pokok produksi TBS Kelapa Sawit mencapai 2.200 perkilogram. “Miris rasanya bahwa ada jutaan petani kita yang memiliki alat-alat produksi namun sangat jauh dari kata sejahtera.”
Ia mengatakan jika dihitung dari perbandingan harga riil dengan harga pokok produksi sudah tidak masuk akal sama sekali. Sehingga, menurutnya pemerintah harus memberikan perhatian yang besar untuk urusan tata niaga TBS dengan melakukan evaluasi terhadap PERMENTAN No.1 Tahun 2018.
Wakil Ketua Bidang Agitasi dan Propaganda DPC GMNI Kota Medan Bung Frans Sigalingging juga menyoroti bahwa penting bagi pemerintah, dalam hal ini, Kementerian BUMN & Kementerian Perdagangan untuk bersikap tegas terhadap PT. Kharisma Bersama Nusantara (KPBN) yang kami nilai belum mengakomodir kepentingan ekonomi pengusaha & petani kelapa sawit dalam penetapan harga TBS yang juga menggunakan DMO & DPO sebagai faktor pengurang karna sesuai Permentan nomor 01 tahun 2018 harga kpbn ini menjadi rujukan harga TBS petani.