PARSIANTARMEN.com– Kerusuhan 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai “kudatuli” merupakan catatan gelap tatkala bangsa ini teringat kembali akan makna demokrasi. Kejadian itu turut membuncah suasana yang demikian kelam di penghujung pemerintahan Presiden Suharto
Sementara, Kuda Troya,diambil dari babad Perang Troya yang mashyur. Sebuah kayu berongga besar yang dibuat oleh Epeius. Kala itu, Orang Yunani berpura-pura meninggalkan perang, berlayar ke pulau terdekat, Tenedos dan meninggalkan Sinon yang meyakinkan petinggi Troya bahwa kuda itu adalah persembahan kepada Athena Sang Dewi Perang.
Selanjutnya kuda tersebut dibawa ke dalam kota. Terjadilah malam bencana, tatkala para prajurit yunani yang bersembunyi di dalamnya keluar untuk membuka gerbang dan membiarkan induk pasukan kembali merebut kota. Singkatnya, kuda itu merupakan sarana tipu muslihat untuk menembus kerajaan yang telah dikepung sepuluh tahun oleh Yunani.
Meskipun dengan latar dan waktu berbeda, terlihat kejadian 27 Juli yang terjadi dua dasawarsa lalu adalah ajang perlawanan bagi taktik Troya penguasa. Munculnya sosok Megawati Sukarnoputri dalam kancah politik kala itu, menggetarkan pilar kekuasaan orde baru.
Pemerintah, saat itu, berupaya sekuat mungkin agar Puteri Bung Karno tersebut tak mendapat panggung dalam jagad politik. Bila terjadi, maka dapat membangunkan silent majority yang selama ini tidur atau dipaksa tidur. Upaya tersebut dengan membentuk kongres tandingan dan menggunakan taktik Kuda Troya untuk merebut legitimasinya.
Kejadian berawal, tatkala kemandekan yang terjadi pada Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Wisma Haji, Pangkalan Mashyur, Medan tahun 1993. Setelahnya, diadakan Kongres Luar Biasa Surabaya pada Bulan Desember di tahun yang sama, di mana nama Megawati Sukarnoputri diusulkan pertama kali oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Solo. [Peter Kasenda, (2018): 66-9]
Setelah melewati berbagai kemelut yang terjadi, pada kongres itu, Megawati Sukarnoputri terpilih sebagai Ketua Umum periode 1993-1998. Pemerintah kala itu, memberikan restu pada kongres tandingan yang digelar pada 20-24 Juni 1996, yaitu Kongres PDI versi Suryadi, di Wisma Haji, Pangkalan Mashyur, Medan. Perhelatan tersebut dibuka oleh Mendagri Yogie S. Mehmed dan Pangab Jenderal Feisal Tanjung.
Hasil kongres tersebut menetapkan Suryadi sebagai Ketua Umum yang menjadi nakhoda PDI ke depan. Kemelut tak terhindarkan, aksi protes PDI Pro Mega mengecam kongres Medan terjadi di berbagai daerah.
Satu di antara bentuk perlawanan yakni kegiatan mimbar bebas yang dilakukan berbagai kalangan untuk mengecam pemerintah. Dukungan terhadap Megawati Sukarnoputri terus mengalir. Akan tetapi, pemerintah bersikukuh mentahbiskan PDI versi Suryadi di tanggal 25 Juni 1996.
Tatkala fajar baru menyingsing, 27 Juli 1996 terjadi bentrokan antara massa PDI Pro-Mega dengan PDI Pro Suryadi. Kubu PDI Pro-Mega mempertahankan Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, no.58, Menteng, Jakarta Pusat.
Peristiwa itu berupa kerusuhan sosial berupa pengrusakan, penghancuran, pembakaran barang-barang milik umum dan pribadi secara serentak di beberapa wilayah di sekitar Jalan Diponegoro, Salemba, Proklamasi, Kramat Raya dan Senen. [Irawan Saptono dan Lukas Suwarso, 1996 (77-86)].
Menurut, catatan Komnas HAM, menyatakan setelah kejadian tersebut, sebanyak 5 orang meninggal dunia, 149 luka-luka dan 23 orang hilang.
Fatah Baginda Gorby Siregar
Pemerhati Sosial-Politik
Alumni Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara